Pepatah Banyu dan Kica

Tergoda untuk kembali membaca buku "Teman Imaji" yang ringan sekaligus menghibur ini.

Dan halaman terakhir menjadi salah satu bagian favoritku.  

Percakapan Banyu dan Kica. Hujan Bulan Desember.

“Saya punya permainan.”

 “Try me.”

 “Judulnya tebak pepatah.”

 “Peraturan?”

 “Saya sebutkan satu pepatah. Kamu artikan.”

 “Gampang! Pasti aku menang.”

 “Seekor pungguk merindukan bulan.”

 “Seseorang jatuh cinta, namun cintanya tak terbalas.”

 “Tapi dunia ini selebar daun kelor.”

 "Tapi dunia ini sempit."

 “Sehingga dimana ada gula, pasti ada semut.”

 “Sehingga dimana ada suatu kebaikan, banyak orang merubung.”

 “Lalu, bagai mendapat durian runtuh.”

 “Lalu seperti mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangka.”

 “Pucuk dicinta ulam pun tiba.”

 “Apa yang diidam-idamkan akhirnya datang.”

 “Api tidak jauh dari panggang.”

 “Kenyataan tidak jauh dari harapan.”

 “Tidak seperti mencincang air.”

 “Yang dilakukan tidak sia-sia.”

 “Dia seperti jarum di tumpukkan jerami.”

 “Dia seperti satu yang berbeda di antara sejuta yang serupa.”

 “Kecil-kecil cabe rawit.”

 “Kecil, tapi cerdas dan pintar.”

 “Meski dia bagai air di daun talas.”

 “Haha,” Kica terindir, “Meski dia berubah-ubah pendiriannya.”

 “Anjing menggonggong, kafilah berlalu.”

 “Tidak peduli apa kata orang.”

 “Esa hilang, dua terbilang.”

 “Berusaha terus hingga maksud yang diinginkan tercapai.”

 “Sebab bermain air basah, bermain api hangus.”

 “Sebab setiap pekerjaan pasti ada susahnya.”

 “Semoga tidak bertepuk sebelah tangan.”

 “Semoga cintanya berbalas.”

 “Karena malu bertanya sesat di jalan.”

 “Karena kalau tidak bertanya tidak akan tahu.”

 “Maka saya tanya.”

 “Eh, itu kan bukan pepatah!”

 “Iya. Supaya tidak tersesat, saya mau tanya…”

 Kica mengernyit, “Apa?”

 “Maukah kamu menjadi teman perjalan saya – selamanya?”

 Kica menggigit bibir. Banyu tahu. Kica tahu.

 Banyu melanjutkan, “Kau lubuk akan tepian ilmu.”

 “Kau adalah orang pandai, tempat bertanya.”

 “Saya katak dalam tempurung.”

 “Saya sangat sedikit sekali pengetahuannya.”

 “Memang tidak ada gading yang tak retak.”

 “Memang tidak ada sesuatu yang sempurna.”

 “Namun kalau pandai meniti buih. Selamat badan ke seberang.”

 “Tapi kalau pandai menjalani hidup, tujuan akan tercapai.”

 “Asal berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.”

 “Asal susah senang dibagi bersama.”

 Banyu mengeluarkan sesuatu. Putih. Kecil. Bercahaya.

 “Maukah kamu menjadi tujuan perjalanan saya – selamanya?”

 Kica tak bisa berfikir. Memang tidak perlu dipikir.

 Seperti biasa.

 Banyu memahami apa yang tidak dikatakan dengan baik oleh Kica. Kali ini, Banyu mengatakan apa yang tidak Kica pahami.

 Banyu tahu Kica tahu..

 Mutia Prawitasari dalam “Teman Imaji” hal. 362-363



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istimror

Nilai Sebuah Kebersamaan

Merenungi Perjalanan