Perjalanan Literasi Tsabit

Ketika hamil Tsabit, hampir setiap waktu aku membaca buku, setiap minggu aku membeli buku baru.


Ketika Tsabit kecil mulai menendang-nendang di dalam perutku, aku mulai membacakan khusus untuknya. Aku membaca apa saja; Al-Qur’an, terjemah Al-Qur’an, sampai buku anak-anak. Aku membacakan dengan ekspresif seolah sedang berkomunikasi langsung dengannya.


3 bulan pertama kelahiran Tsabit, aku masih cuti di rumah. Aku sangat mengingat perkataan konsulen sarafku ketika sekolah dulu. Bahwa indera yang pertama kali berfungsi dalam kehidupan manusia adalah indera pendengaran. Karenanya aku bacakan Tsabit segala hal yang baik-baik; Al-Qur’an, hafalan surat-surat pendek, nyanyian anak-anak, serta sering mengajaknya mengobrol dan bercerita.


Memang, bayi belum dapat merespon sebagaimana orang dewasa, namun ia mengerti, ia paham jika sedang diajak berkomunikasi.


Di usianya yang ke-3 bulan, aku membelikannya buku bertamanya; buku bantal berjudul “Hoaam” terbitan rabbithole.

Ternyata ia penasaran dan tertarik untuk menggenggam dan membolak-balik lembarannya. Aku semakin bersemangat untuk membacakannya dan (bersemangat pula) membelikan buku-buku sesuai usianya; boardbook yang penuh gambar dan full colour, sound book, sampai busy book.


Beberapa orang bertanya, “Kok sudah dibelikan buku? Apa anak bayi sudah paham dibacakan buku? kan belum mengerti, belum bisa membaca pula.”


Buku untuk anak-anak usia batita tidak bertujuan untuk mengajarkan membaca. Sifatnya adalah perkenalan. Awalnya diperkenalkan, lalu penasaran, lama-lama menjadi terbiasa. Semoga akhirnya menjadi senang. Senang dengan buku, senang terhadap ilmu.


Disamping itu, hal yang utama dibangun dalam tahun-tahun pertama kehidupan adalah emosi dan perasaan, bukan kepandaian. Sehingga tugas ibu adalah mengkondisikan agar anak menyenangi hal-hal baik. Soal kemampuan dan kepandaian itu mengikuti atau sebagai bonusnya.


Aku biasa membacakan 15 menit dalam sehari, bisa dibagi menjadi 3 waktu, terkadang sekaligus saat Tsabit terlihat antusias.

Terkadang ketika Tsabit main, aku tetap membacakan buku secara nyaring (read aloud). Karena aku percaya, Allah menciptakan telinga untuk mendengar. Meskipun sedang melakukan hal lain, anak tetap mendengar kata-kata yang kita ucapkan.


Keyakinanku satu, banyaknya kosa kata yang kita bacakan akan memperkaya jalinan-jalinan saraf di otak anak yang tentunya berpengaruh pada kecerdasannya kelak.


Apa yang kutanam, sedikit demi sedikit mulai kutuai. Menjelang usia 2 tahun, setiap bangun tidur, Tsabit hampir selalu mengunjungi rak buku miliknya, kemudian mengambil buku dan memberikannya kepadaku–minta dibacakan. Tak jarang pula ia yang membolak-balik sendiri bukunya, tertarik pada setiap halamannya, berceloteh dengan kosa kata yang dimilikinya seolah sedang bercerita.


Perlahan-lahan ia mulai mengaitkan isi buku dengan kesehariannya.

"Kalau di masjid tidak berlari-larian dan teriak-teriak ya mi?"

"Makan itu supaya sehat ya mi?"

Di lain waktu,

"Abang mau pipis di kamar mandi mi kayak Nabil"

Dan baru-baru ini,

"Sedih dan marah itu Allah juga yang menciptakan ya mi?"

"Umi-umi syahadat itu apa sih mi?"


Ternyata, membacakan buku berefek pada aspek lainnya, bonding kami semakin kuat.


Buku juga menjadi salah satu saranaku untuk mengenalkan tauhid dan akhlak dengan cara yang menyenangkan.


Aspek lainnya yang tampak olehku saat ini, kosa-kata Tsabit banyak sekali di usianya yang belum berusia 3 tahun ini. Dia jadi senang bercerita kepadaku tentang apapun yang dialaminya maupun yang ada di dalam pikirannya.


Aku manfaatkan benar momen tersebut, aku tatap matanya, aku respon ceritanya, dan aku trigger pengetahuannya.


Pada akhirnya, Allah lah yang Maha Kuasa Memberi Ilmu. Kami hanya berikhtiar agar anak senang terhadap ilmu, riang gembira menyambutnya, tanpa keterpaksaan.


Wallahua’lam bisshawwab.

Salam literasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istimror

Nilai Sebuah Kebersamaan

Merenungi Perjalanan