Unexplainable Feeling & Unexpected Action

Hari itu ulang tahun sulungku, Tsabit.

Aku senang merayakan hal-hal yang berbau momentum, meskipun sederhana.

Aku berharap hal itu bisa menjadi tabungan cinta anak-anakku kelak.

Dengan diriku yang tidak 24 jam di rumah, aku senang dengan teori tabungan cinta,

quality over quantity.

Mungkin itu juga yang aku dapatkan dari orangtuaku dulu, bahasa cinta orangtuaku adalah

physical touch dan word of affirmation.

Peluk, cium, dan ungkapan sayang memenuhi masa kecilku, 

sehingga meskipun kedua orangtuaku bekerja dan kami masuk pesantren di usia dini (12 tahun),

Alhamdulillah, masa kecil kami indah dan banjir kasih sayang.

Alhamdulillah.


Kembali ke cerita hari itu, syukuran hari ulang tahun itu sudah kami rencanakan 7 hari sebelumnya.

Qodarullah, suamiku mendapat tugas dinas luar pulau pada H-3 acara.

Sebagai istri, aku berusaha legowo. Acara tetap dilanjutkan.


Nenek dan kakeknya anak-anak membawa hadiah sepeda untuk Tsabit.

Tsabit senang bukan kepalang. 

Memang aku dan suami berencana membelikan sepeda untuk Tsabit dan Qiya di bulan ini,

namun karena tugas dinas yang mendadak, kami belum sempat ke toko sepeda.


Alhamdulillah acara berlangsung lancar.

Tibalah saat makan siang bersama, kami ngeliwet.


Kulihat raut wajah memelas dari Qiya sedari tadi,

aku berusaha menghiburnya dengan merayu abangnya untuk meminjamkan sepeda.

Qiya semakin ingin menguasai sepeda ketika diberikan pinjam.

Terjadilah perebutan.

Kubujuk Qiya melakukan hal lain, namun dirinya tak teralihkan dari sepeda.

"Pedah.. pedah...", lirihnya sambil menangis kejar.

Tangisnya tak kunjung berhenti sampai-sampai hatiku ikut menangis.

Anak usia 1,5 tahun belum dapat diberikan pengertian logis, yang dia akan tangkap adalah

reaksi kita terhadap perasaannya.


Aku segera WA suamiku, yang terlintas dalam pikiranku saat itu hanyalah,

membelikan Qiya sepeda detik itu juga.

Suamiku setuju. 

Aku izin dengan singkat kepada keluargaku, untuk keluar menggendong Qiya sampai reda tangisnya.

Namun sejujurnya, aku sangat ingin menangis saat itu!

Aku merasa gagal untuk adil kepada anak-anakku yang masih kecil itu.


Aku pesan grab-bike secepat kilat.

Umiku sempat membujuk untuk menunda ke toko sepeda supaya diantar mobil oleh abi

nanti sore.


Namun, tindakanku tak dapat dicegah. Kucari tujuan yang kira-kira adalah daerah pertokoan.

Pukul 12.00 siang aku mengelilingi sekitar depok untuk mencari sepeda.


Aku seharusnya lapar karena belum makan, namun rasa lapar itu hilang.

Aku terbiasa menebalkan sunscreen meskipun hanya ke depan pintu rumah, namun aku mengabaikan hal itu.

Aku manja pada suamiku urusan membeli sesuatu, namun aku pergi sendiri dengan Qiya saat itu.


3 daerah yang kulewati belum juga aku temukan toko sepeda.

Aku menjelaskan keadaanku kepada driver grab-bike.

Beliau menawarkan turut mencarikan sampai dapat.


Logikaku baru berjalan setelah suamiku WA, ketik dulu toko sepeda terdekat, baru jalan.

Lokasi terdekat tenyata cukup jauh, yakni di Jalan Raya Bogor.


Dengan beberapa tetes air mata dan terik matahari yang tak kuhiraukan, kami menuju toko tersebut.

Alhamdulillah sampai juga, segera kuminta Qiya memilih sepedanya.

Semua berlangsung singkat. Sepeda pink-hijau pastel bergambar unicorn menjadi pilihan kami.


Tak berapa lama, kami pun pulang. Qiya nampak senang, aku teramat lega.

Pak driver membawa sepeda dengan tangan kiri sembari tangan kanan mengemudi.

Terima kasih pak driver.


Hari itu, aku mengalami perasaan yang belum pernah aku alami sebelumnya.

Aku jadi mengerti perasaan Siti Hajar kala mencari air untuk Nabi Ismail alaihissalam.


Semoga anak-anakku senantiasa terlimpahkan kasih sayang, selalu dalam penjagaan Allah, dikelilingi oleh orang-orang dan lingkungan yang baik, juga selalu menebarkan kebahagiaan.

Aamiin..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istimror

Nilai Sebuah Kebersamaan

Merenungi Perjalanan