Refleksi 5 Tahun

5 tahun yang lalu, aku berusia 23 tahun jelang 24.
5 tahun yang lalu adalah tahun dimana banyak momentum terjadi.
Akhir Januari, aku dilantik menjadi dokter.
Bulan Februari, aku dilamar.
Bulan April, kami menikah,
Setahun kemudian, aku menjadi ibu.
Dua tahun kemudian, aku menjadi ibu dua anak.

Banyak yang sudah aku lalui.
Allah menjadikannya mudah, nikmat, penuh anugerah.
Mungkin ada masa-masa sulit, tapi sungguh, aku sulit untuk mengingatnya,
hanya kebahagiaan yang terekam dalam memoriku.
Alhamdulillah. 
Hadza min fadhli rabbii..

Terima kasih untuk hatiku, pikiranku, diriku yang telah melalui banyak hal.

Sejak 5 tahun yang lalu hingga hari ini dan selamanya, hatiku amat berpaut pada keluarga kecilku ini.
Segala keputusanku, rencanaku, tindakanku, kesukaanku, dan ilmu yang kupelajari; kubaktikan untuk membangun keluarga dan mendidik anak-anakku.

Semoga Allah memudahkanku untuk dapat mencapai impianku, yakni sebuah do'a yang kupanjatkan sejak dahulu, saat belum menikah dan belum menjadi dokter:

Ya Allah jadikanlah aku istri yang sholihah, ibu yang menjadi teladan bagi anak-anaknya, serta dokter yang sholihah dan mushlihah.

Impian yang mungkin tampak sederhana, tapi tidak sederhana bagiku. 
Perlu usaha ekstra, jalan yang panjang, serta ke-istiqomah-an untuk mencapainya.

Ada beberapa garis besar yang harus selalu aku perjuangkan untuk mencapai mimpiku:

1. Mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki sholat

"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu."
(Q.S Al-Baqoroh: 45)

Sesungguhnya ujian itu tidak hanya ada saat kita dalam keadaan sulit. 
Justru ujian yang berat adalah ujian kenikmatan, ujian yang melenakan. 
Akankah kita semakin mendekat kepada-Nya atau sebaliknya?
*talk to my self*

2. Memahami kewajiban sebagai istri dan ibu

Aku beruntung menikah dengan suamiku. 
Dia selalu mengingatkanku tentang fitrahku sebagai istri dan ibu. 
Dia pula yang selalu menyadarkanku tentang skala prioritas.
Dia juga yang selalu memuliakanku dan anak-anak kami.

Keutamaan pada seorang istri adalah taat pada suaminya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” 
(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih).

Kukira ini akan mudah, ternyata sulit.
Surga tak bisa dibeli dengan "harga murah"
Perlu pengorbanan besar untuk mengalahkan diri sendiri.
Saat ini aku masih terus belajar untuk sami'na wa atho'na; taat tanpa mendebat.

3. Membawa jati diri muslim dimanapun berada

Aku bersyukur dengan hatiku, yang mudah merasa tidak nyaman jika ada yang bertentangan dengan prinsip hidup islam. Meski begitu, aku mulai merasa sulit untuk menjadi "yang asing" di zaman ini, terutama di lingkungan heterogen.

Terkadang aku berani dan terkadang pula aku masih belum berani melakukan nahi munkar. Padahal kemunkaran tepat di depan mataku. Benarlah yang pernah kudengar dahulu, lebih sulit melakukan nahi munkar dibanding amar ma'ruf. Semoga Allah membimbingku agar memiliki kemampuan dan kekuatan itu.

"Hendaklah ada di antara kamu orang-orang yang selalu mengajak orang berbuat baik dan melarang orang berbuat munkar (jahat)."
(Q.S Ali Imron: 104)

4. Selalu meng-upgrade ilmu dan mengaplikasikannya

Highlight-ku, 5 tahun terakhir adalah tentang minatku. 
5 tahun terakhir, 78 buku yang kubaca, sebagian besar adalah buku parenting.
Seminar parenting memakan porsi yang lebih banyak dibandingkan menjadi peserta seminar kedokteran. 
Aku sangat menikmati menyelami dunia pendidikan ini. 
Aku dapat masuk sangat dalam ketika meng-explore dunia parenting.
Aku nyaman berlama-lama jika membicarakan pendidikan anak usia dini.
Hingga aku mempunyai mimpi baru yakni mendirikan sekolah dan perpustakaan sendiri.
Aaamiin

Suamiku mendukungku penuh, begitu pula dukungannya agar aku mengambil spesialis.
Namun, untuk poin yang kedua, justru akulah yang saat ini ragu; mampukah aku mengambil pula konsekuensinya? (Jauh dengan anak untuk waktu yang lama, menambah peran baru, pressure psikologis selama sekolah, dan lain sebagainya)
Untuk mempelajari keahlian baru di ilmu kedokteran, aku amat senang, nyaman, dan tertarik, terutama mengenai kesehatan ibu dan anak.
Namun, satu yang mengganjal di pikiranku, adakah sekolah spesialisasi yang ramah keluarga nan ramah anak?


Semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Semoga Allah senantiasa menjaga dan meridhoi keluarga kecil ini.
Aamiin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istimror

Nilai Sebuah Kebersamaan

Merenungi Perjalanan