Kisah Tongkol

Suatu sore, aku teringat bahwa aku belum makan siang, akhirnya aku putuskan membeli kebab karena memang lagi ngidam banget.

Menjelang maghrib aku membeli nasi bungkus di **** minang. Biasanya aku membeli sambal goreng kentang-ati-ampela, menu favoritku kalau di masakan padang. 
Namun, dalam pikiranku saat itu terngiang-ngiang perkataan dr. Rodiani, Sp. OG ketika kuliah tadi pagi.

“Kalian ya dek, walaupun anak kosan jangan sampe gara-gara ngirit makannya jadi mie terus. Aduuh kalau kalian tau ya efek mie itu, banyak dek organ yang nantinya dirusak... Nggak sekarang tapi nanti beberapa tahun lagi”

“Saran saya ya kalian paling enggak makan tuh ya ikan, nggak perlu ikan mahal, ikan teri boleh, ikan apapun boleh deh. Ikan itu bagus banget gizinya. Proteinnya tinggi, bagus untuk otak kalian, untuk daya tahan tubuh kalian. Pokoknya ingetlah ya makan ikan aja.”

Aku pun akhirnya memesan ikan. Ikan tongkol lebih tepatnya. Sesampainya di rumah aku segera  makan. Setelah itu, aku membersihkan wajah dengan kapas plus pembersih wajah sebelum mandi.

Tiba-tiba kurasakan pembuluh darah di kepalaku berdenyut cepat dan agak kencang, jantungku berdetak keras, sampai-sampai bunyinya dapat kudengar.
Lalu kulihat cermin, tampak wajah dan leherku kemerahan. Aku habis ngapain, pikirku.
Segera  kuambil pembersih wajah yang barusan kugunakan, dan aku mengamati tanggal expired-nya, masih lama. Berarti penyebabnya bukan bahan kimia pembersih wajah.

Aku segera tiduran dan menelpon ummi,
“Mi aku sakit kepala banget”
“Sakit kepala kenapa?”
“Kayaknya karena makan daging sama ikan yang jaraknya deket deh mi. Kan nggak boleh kan ya, ada bukti ilmiahnya kalau hewan darat sama laut dimakan barengan nanti malah nimbulin racun ke sirkulasi darah”
“Emang terakhir kamu makan apa?”
“Tongkol”
“Hahaha itu mah kamu keracunan tongkol namanya, mukanya merah nggak?
“Merah mi”
“Ummi waktu hamil kamu juga pernah keracunan tongkol. Yaudah minum cetrizine”

Aku pun segera mengorek kotak obat dan menemukan cetrizine lalu meminumnya. 
Kemudian aku lapor ke umi cory (ibu kosanku). Umi cory mengoleskan mukaku yang kemerahan dengan minyak butbut.

Aku juga langsung bercerita di grup line bukan geng.
“Aku keracunan tongkol”
Dan paniklah semuanya.
Mereka bilang, Ayo ke RS, takutnya reaksinya sampe tahap bronkokonstriksi (menyempitnya saluran napas) dan nanti aku nggak bisa napas, begitu kata mereka.
Ghea langsung jemput aku untuk ke klinik dokter.

Dan sampailah kami disana
Disana seluruh tubuhku sudah merah semua.
Setelah melakukan anamnesis dan PF, dokternya bilang,
“Alergi tongkol ini”
“Berarti saya nggak boleh makan tongkol lagi ya dok?”
“Sebelumnya pernah makan tongkol?”
“Pernah tapi nggak timbul reaksi kayak gini dok”
“Berarti tongkol yang kamu makan barusan tongkol yang udah nggak seger. Dilihat aja dulu kalau mau makan tongkol, seger apa enggak”
“Makasih dok”

Lalu dokternya  nulis resep di kertas resep,
“Saya kasih anti histamin ya untuk alerginya”
“Mmm. tapi saya udah minum cetrizine dok”
“Oh yasudah saya coret ya” *sreeet*
“Saya kasih ibuprofen aja ya untuk panas sama kalo nyeri”
“Dok, kalau antalgin atau antipiretik yang lain boleh? saya.. ada”
“Oh yasudah boleh” *sreeet* *dicoret lagi*
“Kalau gitu ini saya kasih dexamethasone untuk anti inflamasinya”
Dalem hati: sebenernya saya ada non-flamin dok. Tapi nggak sampai terucap.
yang terucap saat itu, “Iya dok, terima kasih”

Kalau saat itu aku bilang punya non-flamin, mungkin dalem hati dokter itu bilang, yeee kalo gitu ente ngapain kesini?

Maaf dok, hehe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istimror

Nilai Sebuah Kebersamaan

Merenungi Perjalanan