Stase Anestesi

Welcome to Stase Anestesi
Yap. Sudah hampir 3 minggu saya berada di Stase Anestesi. 
Tak terasa saya dan teman-teman sudah menginjak stase ke-7 dari semua stase. 
Itu berarti 2 stase lagi berada di Metro kemudian kembali ke Bandar Lampung.

Mari kita flashback dulu pada kejadian hari pertama di Stase Anestesi.
Hari pertama kami sekelompok dimarahi konsulen karena terbalik-balik mengenai nilai volume tidal, volume cadangan inspirasi, cadangan ekspirasi, dan sebagainya, yang berakibat kami dikembalikan ke dr. Andre, Sp.P untuk kuliah satu hari *padahal itu kan pelajaran IPA Terpadu SMA apa SD gitu ya* Hahaha.. memalukan. Insya Allah setelah ini ngga terbalik-balik lagi.

Anestesi itu ilmu tingkat tinggi, kata konsulen kami. Ya benar, semua ilmu ada disini, Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Bedah, Ilmu Kebidanan, dan lain sebagainya. Ilmu kegawatdaruratan dasar pun juga dipelajari disini.

Berhubung anestesi merupakan satu-satunya ilmu yang belum pernah kami pelajari secara khusus di kampus, saya sangat antusias dengan stase anestesi ini; stase yang paling aplikatif, harus hafal obat-obat anestesi lengkap dengan dosis, cara kerja, onset, durasi, efek, dan efek samping dan langsung diaplikasikan pada pasien. 
Intubasi, RJP, resusitasi cairan, dan tindakan kegawatdaruratan lainnya yang sangat berguna kelak saat menjadi dokter umum juga diaplikasikan disini.

Selanjutnya saya ceritakan pengalaman jaga malam saya bersama Ina.
Pagi itu saya dan Ina dinas pagi seperti biasa kemudian setelah dinas pagi berakhir pukul 14.00, kami lanjut jaga malam. 
Sejak pukul 14.00 sampai malam hari semua berjalan lancar, pasien aman.
Ketika pukul 01.00 malam selesai injeksi obat, ada seorang pasien dengan sepsis et causa abses selulitis yang gawat, tanda-tanda vitalnya menurun, dan memasuki fase syok, prosedur penatalaksanaan syok segera kami lakukan. 
Namun tanda-tanda vitalnya tetap tidak menunjukkan tanda perbaikan. 
Setelah informed consent dengan keluarga dan melakukan usaha maksimal menaikkan tanda-tanda vital, singkat cerita sayangnya pasien tersebut menemui takdirnya, tidak tertolong.

Pukul 02.00 WIB saya dan Ina tertidur untuk kemudian pukul 03.00 WIB salah satu perawat membangunkan kami, “Dek saya nggak biasa bangunin koas, tapi pasien yang mau masuk sekarang suami bu direktur, nanti takutnya dr. Hartawan atau dr. Yusnita datang (keduanya adalah konsulen anestesi). Takut kalian dimarahi kalau tidur”
Sontak saya dan Ina segera terbangun, tidur 1 jam yang sangat lumayan menurut saya.
Ketika lelah, tidur 15 menit dengan lelap pun sangat berkualitas.

Benar saja, baru saja kami berdiri dari sofa, datanglah pasien baru (suami bu direktur RSAY) dengan penurunan kesadaran dan muntah proyektil pasca jatuh di kamar mandi dengan riwayat stroke, diiringi dr. Ronald, Sp. PD, dr. Andre, Sp. P, dan dr. Yusnita, Sp. An. Beberapa saat kemudian dr. Agung, Sp. BS dan dr. Simon, Sp. S turut datang.
Baru kali ini saya melihat 5 dokter spesialis berkumpul pada dini hari.

Saya dan Ina berterima kasih sekali pada kakak perawat yang satu ini (yang membangunkan kami). Kata siapa perawat itu umumnya galak sama koass. Buktinya perawat ICU ini seperti malaikat semua.

Bayangkan saja, siapa yang lebih berjiwa malaikat selain mereka yang setiap hari merawat pasien ICU yang keadaannya buruk, memandikannya, membersihkan kotorannya, dan sebagainya.
Sungguh di ICU ini saya belajar banyak mengenai merawat pasien dengan talaten.

Singkat cerita malam itu penuh dengan tindakan dan hiruk pikuk perawat ICU, dokter jaga, dan dokter spesialis, serta kami yang turut membantu sesuai instruksi dokter spesialis.

Shubuh pun menjelang, di tengah gawatnya pasien ini, ada seorang pasien dengan stroke hemoragik yang mengalami penurunan tanda-tanda vital. Kami membagi 2 tugas, Ina mengurusi suami bu direktur, saya dan sebagian kakak perawat mengurusi nenek dengan stroke hemoragik yang sudah 12 hari dirawat di ICU ini, semua support telah kami berikan sesuai dengan advice dokter spesialis, namun nenek ini ternyata menghembuskan napas terakhirnya malam itu.

Setelah berdiskusi dan diberikan penatalaksanaan awal, akhirnya suami bu direktur ini dirujuk ke RS yang dapat melakukan pembedahan saraf. Ina ikut merujuk bersama dr. Yusnita, Sp. An, sementara saya stay di ICU. 2 hari berikutnya kami mendapat kabar duka mengenai meninggalnya suami bu direktur ini. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu.

Pagi pukul 08.00 saya dan Ina sudah berada di OK untuk dinas pagi seperti biasa. Hari itu operasi selesai pukul 16.00 WIB dan berakhirlah pula kisah 34 jam non-stop kami di Rumah Sakit.

Mungkin lelah, namun "Ilmu tidak akan didapatkan kecuali dengan meluangkan waktu" (Al-Baihaqi)

Foto candid Saya dan Ina;
Kiri: Jaga malam dengan pasien gawat.
Kanan: Pagi hari 'mencuri' tidur saat Dinas pagi esoknya di OK.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istimror

Keluar dari Belenggu Membandingkan

Merenungi Perjalanan