Menjadi Sadar dan Berlatih Sabar

Aku teramat mencintai anak-anak, sangat nyaman mengasuh, juga mengajari anak-anak.

Luar biasa bersyukur atas anugerah indah ini, buah hati anugerah Allah, Tsabit dan Qiya.

Dulu, saat belum menikah, pernah terpikir di benakku; Memang bisa ya seorang ibu kehilangan sabar? Bukankah anak adalah kebahagiaan?. Ah aku pasti bisa menjadi ibu yang penyabar.

Ya. Aku memang berhasil melalui 2 tahun kehidupan pertama anakku (bisa dibilang) dengan hati lapang dan tenang, semua anugerah dari Allah. Anakku tumbuh dengan sangat baik. Tak pernah aku membentak anakku, apalagi memukul. Alhamdulillah.

Sampai suatu saat, datanglah masa dimana anakku berada pada fase toddler yang; 

memiliki otoritas dan pilihannya sendiri,

sudah bisa menolak, 

dan amat berpegang kuat pada pendapat dan kemauannya.

Ya.. Sebenarnya aku tahu karakter ini baik untuk kehidupannya kelak; anak berlatih mengambil keputusan beserta konsekuensinya, juga berlatih untuk mengutarakan pendapat dan memiliki opini --tentu saja jika orangtua dapat membimbingnya.

Akhirnya aku tersadar dan memahami, bahwa kenyataannya, menjadi ibu yang selalu sabar itu tidak mudah. 

Kesabaran perlu dilatih terus-menerus, agar tak berbatas.

Terkadang aku tak sadar hingga egoku terasa membakar, ingin rasanya anak-anak selalu menurutiku, ingin rasanya instruksiku langsung mereka kerjakan tanpa tanya, tanpa ditolak.

Padahal, alasan sebenarnya adalah aku kelelahan, mengharap anak kecil itu mengerti keadaanku. Mungkin juga egoku yang ingin dihormati (?).

Padahal, anakku, dia baru hidup selama 3 tahun, sedangkan aku sudah hidup selama 28 tahun. Maka sudah seharusnya aku yang mencoba mengerti dan aku yang berusaha lebih banyak belajar dan memahami.

Terkadang aku langsung tersadar, lalu mengambil alih kendali diriku, mengubah emosi negatifku menjadi sabar dan kreatif mencari jalan keluar.

Terkadang pula, aku tak sadar, sehingga aku mengamuk dan berteriak frustasi, lalu menyesal setelahnya.

Semakin lama, aku semakin belajar tentang titik antara kesadaran dan ketidaksadaran dalam mengasuh. 

Ternyata, hal ini dapat dilatih, aku membacanya di buku "Conscious Parenting" yang ditulis oleh Doctor Shefali.

Dengan sedikit ilmu yang Allah berikan itu, atas izin Allah, semakin lama, semakin sedikit proporsi ketidaksadaranku, karena semakin hari aku semakin berlatih untuk mengenali kondisi tidak sadar, dan segera mengubah unconcious mode menjadi concious mode. 

Bagaimana cara aku mengubahnya?

Dengan perlahan dan bertahap, serta penuh dengan tekad untuk memperbaiki diri.

Karena sejatinya mendidik anak adalah tentang mendidik diri sendiri.

Beberapa waktu lalu, emosiku terpancing karena anak-anakku bermain beras dan bedak, semua butiran itu mengotori lantai berkombinasi dengan mainan yang berserakan.

Aku mengucap "Astaghfirullah" dengan keras dan sebuah kalimat "Ya Allah anak-anak umi!!"

Hampir saja ingin kulanjutkan dengan semprotan amarah.

Namun, Alhamdulillah, aku tersadar, meski rasanya mengganjal sekali di hati.

Seperti dada ini panas dan kepala ini mau pecah.

Namun, logika dan kesadaranku segera memimpin.

'Berantakan ini segera hilang dalam 30 menit jika dirapikan, namun jika bentakan sudah keluar dari mulut, bisa jadi membekas di hati anakku sepanjang hidup'

Akhirnya, aku hanya mencari salah sudut di rumah, diam, berjongkok dan duduk, lalu menutup wajah dengan kedua tangan seraya beristighfar pelan dengan suara gemetar.

Meninggalkan kedua anakku di belakang.

'Aku berhasil, sebentar lagi aku berhasil ujarku kepada diriku sendiri'

Tak lama berselang kedua anakku datang, memelukku dengan erat

Si sulung berujar, "Umi.. Abang sayang umi", diikuti pelukan si bungsu.

Air mata sungguh tak dapat kubendung.

Aku peluk anakku erat sambil mengusap-usap pundak mereka.

Hari itu aku merasa lemah sekali.... namun, aku merasa puas.

Terima kasih anakku sudah menjadi kuat untuk ibumu yang lemah.

Terima kasih sudah mencintaiku tanpa syarat.

Umi berharap kalian terus memeluk umi sampai tua nanti.

Aku ungkapkan rasa sayang dan maaf kepada anak-anakku sambil menangis dan memeluk mereka.

Momentum sederhana yang apa adanya.

Kemurnian jiwa anak-anak dan ibu yang masih belajar dan terus berusaha melawan ego, belajar mengasuh anak dengan kesadaran.

Setelah itu, kami merapikan rumah dan bermain lagi.

Allah terima kasih atas anugerah ini.

Sungguh tidak ada daya dan upaya tanpa bimbingan darimu.

Bimbinglah hamba untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anak sesuai dengan syariat-Mu ya Allah.

Aamiin...


Stasiun Manggarai, 12 Oktober 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istimror

Nilai Sebuah Kebersamaan

Merenungi Perjalanan