Tentang Takdir (1)
Berawal dari pertanyaan beberapa orang tentang ketetapan
Allah dalam sebuah hadits.
Dari Abu ‘Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda, – dan beliau adalah orang
yang jujur dan dibenarkan – “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan
penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi
‘alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi mudhghoh (segumpal
daging) selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh
kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 hal: rezeki, ajal, amal dan
celaka/bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Illah selain-Nya, ada seseorang
diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak
antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja, kemudian ia didahului oleh
ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka.
Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi
jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului
oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.” (Diriwayatkan
oleh Al Bukhari dalam Bad’ul Khalq)
Dari hadits ini, beberapa orang atau mungkin kita bertanya-tanya,
jikalau ahli surga dan ahli neraka telah ada ketetapannya, lalu untuk apa kita
hidup? untuk apa kita diciptakan, toh yang kita lakukan ini sudah dituliskan, meskipun
selama hidup kita melakukan perbuatan ahli surga kalau sudah ditentukan menjadi
ahli neraka, akan ada perubahan-perubahan dalam hidup kita yang menuju kesana. Dan
perubahan-perubahan itupun sudah ditentukan oleh Allah. Begitupun sebaliknya. Kasihan
sekali yang Allah takdirkan menjadi ahli neraka, mau seperti apapun hidupnya di
dunia, ia akan tetap menjadi ahli neraka.
Merasa tidak sanggup membahasnya sendiri saya berdiskusi
dengan teman-teman dan menanyakannya langsung ke murobbi
saya.
Bismillah
Mari kita uraikan satu persatu
Berikut adalah sedikit penjelasan dari hadits tersebut:
Maksud hadits “Maka demi Allah yang tiada Illah selain-Nya,
ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak
ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja,” adalah seseorang
yang menurut pandangan mata manusia mengerjakan amalan surga dan ketika sudah mendekati
ajalnya mengerjakan amalan penduduk neraka, kemudian ia dimasukkan ke
dalam neraka. Jadi yang dimaksud ‘jaraknya dengan surga atau neraka tinggal
sehasta‘ bukan tingkatan dan kedekatannya dengan surga, namun waktu antara
hidupnya dengan ajalnya tinggal sebentar, seperti sehasta.
Yang patut kita pahami dari hadits ini, bukan berarti ketika
kita sudah berusaha melakukan kebaikan dan amalan ibadah maka Allah akan
menyia-nyiakan amalan kita. Karena hadits di atas diperjelas dengan hadits
lainnya, yaitu,
“Sesungguhnya ada di antara kalian yang beramal dengan
amalan ahli Surga menurut pandangan manusia, padahal sebenarnya ia
penduduk Neraka.” (HR. Muslim no. 112 dengan sedikit perbedaan lafazh dari
yang tercantum)
Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan maksud
hadits ini, “Amalan ahli surga yang dia amalkan hanya sebatas dalam pandangan
manusia, padahal amalan ahli surga yang sebenarnya menurut Allah, belumlah ia
amalkan. Jadi yang dimaksud dengan ‘tidak ada jarak antara dirinya dengan surga
melainkan hanya sehasta’ adalah begitu dekatnya ia dengan akhir ajalnya.”
Sedangkan maksud hadits, “Kemudian ia didahului oleh
ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka,” artinya,
kemudian orang tersebut meninggalkan – kebiasaan – amalan ahli surga yang
sebelumnya dia amalkan. Hal itu disebabkan adanya sesuatu yang merasuk ke dalam
hatinya – semoga Allah melindungi kita dari hal ini – yang menjerumuskan orang
tersebut ke dalam neraka.
Hal ini perlu diperjelas agar tidak ada prasangka buruk
terhadap Allah ta’ala. Karena seorang hamba yang melaksanakan amalan ahli
surga dan ia melakukannya dengan jujur dan penuh keikhlasan, maka Allah tidak
akan menelantarkannya. Allah pasti memuliakan orang-orang yang beribadah
kepada-Nya. Namun bencana dalam hati bukan merupakan suatu perkara yang
mustahil – semoga Allah melindungi kita dari hal ini.
Contoh kisah untuk memperjelas hadits ini yang terjadi di
zaman nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
Ada seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam yang bersama beliau dalam suatu peperangan. Sahabat ini tidak
pernah membiarkan kesempatan untuk membunuh lawan melainkan ia pasti
melakukannya, sehingga orang-orang merasa takjub melihat keberaniannya dan
mereka berkata, “Dialah yang beruntung dalam peperangan ini.” Lalu Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia termasuk ahli Neraka.”
Pernyataan Rasulullah ini menjadi perkara besar bagi para
sahabat radhiallahu ‘anhum dan membuat mereka bertanya-tanya
keheranan. Maka seseorang diantara mereka berkata, “Aku akan mengikutinya
kemanapun dia pergi.”
Kemudian orang yang pemberani ini terkena panah musuh hingga
ia berkeluh kesah. Dalam keadaan itu ia mencabut pedangnya, kemudian ujung
pedangnya ia letakkan pada dadanya, sedangkan genggaman pedangnya ia letakkan
di tanah, lalu ia menyungkurkan dirinya (ke arah depan), hingga pedang tersebut
menembus punggungnya (alias ia bunuh diri). Na’udzu billah.
Orang yang mengikutinya tadi datang menghadap Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam dan mengabarkan apa yang terjadi seraya berkata, “Aku
bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”
“Kenapa engkau katakan itu?” sabda Rasulullah.
Ia berkata, “Sesungguhnya orang yang engkau katakan
tentangnya dia termasuk ahli neraka, telah melakukan suatu tindakan (bunuh diri,
ed.).”
Maka setelah itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang itu telah beramal dengan amalan ahli
surga pada pandangan manusia, padahal sebenarnya ia penduduk neraka.” (HR.
Bukhari (no.2898) dan Muslim (no.112))
Kisah lain adalah seorang sahabat yang bernama al-Ushairim
dari kabilah ‘Abdul Asyhal dari kalangan Anshar. Dahulu ia dikenal sebagai
penghalang sekaligus musuh dakwah Islam. Tatkala para sahabat pergi ke perang
Uhud, Allah memberikan ilham kepadanya berupa iman, lalu ia ikut berjihad dan
berakhir dengan mati syahid. Setelah perang selesai, orang-orang mencari para
korban dan mendapatkan Ushairim dalam keadaan terluka.
Para sahabat bertanya, “Wahai Ushairim, apa yang mendorongmu
berbuat seperti ini, apakah untuk membela kaummu ataukah kecintaanmu terhadap
Islam?”
Ia menjawab, “Bahkan karena kecintaanku terhadap Islam.”
Sebelum wafatnya, ia meminta untuk disampaikan salamnya
kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, meskipun dulunya Ushairin ini buruk dan suka
mendzalimi kaum muslimin, namun karena hatinya yang baik, Allah jadikan dia
orang yang mati di medan jihad.
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ikhlas dan beramal
dan menjadikan akhir yang baik untuk kita. Aamiin.
Sumber:
Syarah Hadits Arba’in karya Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin
Komentar
Posting Komentar